Senin, 07 September 2015

Demokrasi dan Sepak Bola Kita

Di Indonesia, fenomena pendukung partai politik serupa dengan fenomena pendukung sepak bola. Piala Dunia Sepak Bola merupakan fenomena menarik. Setiap empat tahun sekali football fevermenjangkiti dunia. Ribuan penggemar sepak bola dari berbagai belahan dunia membayar ribuan dolar untuk ongkos pesawat, hotel, dan tiket masuk agar bisa menyaksikan pertandingan dari dekat. Sementara ratusan juta penggemar di seluruh dunia menonton melalui televisi atau mendengarkan melalui radio. Begitu juga di Indonesia, tak terhitung jumlah penggemar sepak bola yang rutin menyaksikan pertandingan secara langsung. Yang menarik dari fenomena sepak bola itu adalah fanatisme pendukung dan dukungan total secara moril-material untuk kesebelasan dan pemain favoritnya. Para pendukung ini rela dan sanggup mengeluarkan ribuan dolar agar bisa memberi dukungan langsung pada kesebelasan favoritnya. Hansen (1998) penulis sosiologi olahraga menjelaskan fenomena ini dengan menyebutnya sebagai-salah satunya-deindividuisasi. Artinya, sebagian dari identitas pribadi para pendukung itu terkikis dan mereka mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari tim favoritnya. Meski fenomena ini menarik diamati secara psikologis dan sosiologis, karena para pendukung benar-benar all out dalam memberikan dukungannya, tetapi dengan memakai pendekatan political economyfenomena ini jadi relevan dengan demokrasi kita di Indonesia dan menarik untuk dianalisis. Pendekatanpolitical economy ini biasa mendasarkan pada pertanyaan: who gets what, and why (siapa mendapat apa, dan mengapa)?. Dalam konteks dukung-mendukung itu pertanyaannya adalah, para pemain dan pendukung ini memperoleh rewards apa? Yang pasti para pendukung senang saat tim dukungannya menang, dan ikut merasa terpukul jika timnya kalah, tetapi secara materi mereka tidak mendapat apa-apa. Justru pemain yang didukung yang mendapatkan semua rewards. Ketika pemain sepak bola mencium piala emas itu, jutaan pendukungnya bersorak riang. Ketika pemain sepak bola itu kembali ke negaranya membawa rasa bangga dengan berbagai bonus, jutaan pendukungnya kembali pada realita hidupnya membawa bahagia dengan tangan hampa. Para pemain mendapatkan semua kompensasi, sementara pendukungnya meski boleh ikut bahagia dan boleh berbangga, tetapi tetap saja cuma bisa menonton. Ketika konstruk hubungannya adalah antara pendukung dan pemain olahraga, maka fenomena dukung-mendukung macam ini tampak normal. Yang menjadi masalah adalah bila konstruk hubungan ala sepak bola ini terjadi dalam dunia politik di mana rakyat sebagai suporter dan partai politik sebagai tim sepak bola. Rakyat pendukung ini mati-matian berdebat, membela partai pujaannya dan bila partai pujaannya dikritik atau diejek, mereka sanggup tak cuma beradu jotos tapi juga beradu-nyawa untuk membela. Setiap saat partai kesayangannya itu bertanding dalam pemilu, maka para pendukung ini pun sanggup mendukung habis-habisan. Lalu saat “pertandingan” selesai, terjadilah ironi itu: para politisi meraih berbagai hadiah dan trofi dalam bentuk kekuasaan politik, sedangkan para pendukung-yang fanatik sekalipun-cuma bisa menonton dan gigit jari. Berbeda dengan sepak bola yang lapangannya dibatasi pagar kokoh dan pemain tidak boleh dipengaruhi kelakuan pendukungnya, lapangan politik dalam demokrasi adalah arena partai politik yang perlu dan harus dipengaruhi pendukungnya. Dalam sepak bola, lapangan itu milik pemain. Dalam demokrasi, lapangan politik itu milik rakyat. Lapangan politik itu untuk pertandingan secara non-violence, bukan cuma kepentingan politisi tetapi kepentingan rakyat yang diwakilinya. Lebih jauh lagi, karena manfaat/output dari demokrasi ditentukan oleh aktor yang terlibat, maka memikirkan dan memformulasikan kepentingan adalah modal untuk mendapatkan manfaat dari demokrasi. (Przeworski, 1991) Dalam hal ini aktornya adalah para politik dan rakyat. Aktor yang tidak memikirkan dan memformulasikan kepentingan/agenda akan mengalami kerugian (opportunity cost). Di sisi lain, aktor yang siap dengan kepentingannya akan berpeluang lebih besar untuk diuntungkan. Kesadaran bahwa demokrasi adalah instrumen alokasi kekuasaan politik dan ekonomi akan memaksa para aktor demokrasi (yaitu partai dan rakyat) untuk berinteraksi secara kalkulatif. Dalam seting yang kalkulatif maka: Rakyat memberi dukungan pada partai politik. Partai politik memperjuangkan kepentingan pendukungnya. Akibatnya, interaksi rakyat dengan partai menjadi sebuah interaksi yang bersifat transaksional dan masing-masing pihak mengadopsi langkah yang, dalam kajian game theory, disebut Tif-For-Tat. Di sini terlihat, dalam demokrasi, konstruk hubungan pendukung dan partai politik bergerak dua arah. Sementara, konstruk hubungan pendukung dan pemain sepak bola hanya bergerak satu arah yaitu dari pendukung pada pemain. Dalam hubungan satu arah ini tidak perlu karakter kalkulatif, apalagi transaksional. Sayang, konstruk hubungan ala sepak bola ini hidup subur dalam dunia politik di Indonesia. Di Indonesia, fenomena pendukung partai politik serupa dengan fenomena pendukung sepak bola. Absennya hubungan yang kalkulatif dan transaksional membuat pendukung partai politik umumnya berperilaku sama dengan pendukung tim sepak bola. Tentu ada perkecualian. Misalnya para penarik becak di Jakarta, yang menyatakan sebagai pendukung partai tertentu. Ketika lahan hidup penarik becak digusur dan mereka menganggap partai dukungannya tidak peduli dan tidak membela maka mereka mengambil langkah sepadan, beramai-ramai mengembalikan kartu tanda anggota dan kaus/topi/atribut partai ke Kantor partai yang mereka dukung. Terobosan para penarik becak itu adalah langkah politik yang modern. Sayang, perilaku pendukung yang transaksional dan kalkulatif macam ini belum banyak ditiru. Bahkan, langkah penarik becak di Jakarta ini cenderung dicitrakan buruk: menarik dukungan selalu diasosiasikan dengan penggembosan dan rekayasa pihak ketiga. Padahal, dalam politik modern, menarik dukungan adalah sama legitimate-nya dengan memberi dukungan. Dengan absennya karakter kalkulatif dan transaksional ini maka wajar bila demokratisasi belum dirasakan faedahnya oleh rakyat. Demokratisasi minus karakter kalkulatif dan transaksional hanya berhasil menambah jumlah pemain dan tim di lapangan, yaitu jumlah politisi dan partai di arena politik, tetapi konstruk hubungan antara pemain dan pendukung justru tidak berubah. Di satu sisi, rakyat pendukung partai politik berperilaku seperti pendukung sepak bola, sama saja dengan kerja bakti politik. Rakyat pendukung tidak memikirkan apakah politisi dan partai dukungannya sedang menguntungkan atau merugikan dirinya. Di sisi lain, bisa dibayangkan betapa senangnya para politisi dan partai politik bila memiliki pendukung yang berperilaku seperti pendukung sepak bola. Politisi dan partai politik nasional dan pragmatis tentu akan berusaha melanggengkan kerja-bakti tanpa imbalan yang dilakukan pendukungnya. Dalam pandangan politisi, untuk apa diubah bila konstruk sekarang memang amat menguntungkan dirinya, toh para pendukungnya melakukan hubungan secara habis-habisan tanpa paksaan dan memang tanpa pamrih. Situasi ini merugikan bagi perkembangan demokrasi yang sehat. Karena itu, perlu ada perubahan. Mengubah konstruk hubungan partai politik dan rakyat pendukung bisa dilakukan dengan merasionalkan partisipasi politik melalui : Pendekatan struktural dan Pendekatan kultural. Bila menggunakan pendekatan struktural : Melalui rekayasa institusional, misalnya dengan mengubah electoral system atau memperpendek masa jabatan politisi. Tujuan rekayasa institusional itu adalah agar intensitas interaksi antara politisi dan rakyat jadi meningkat. Dalam cooperation theory (game theory), iterated games, macam pemilihan umum, yang berkala, reguler, dan intensif ini akan membuat setiap pihak lebih berpeluang menilai perilaku pihak lain secara cenderung kooperatif dan mutualistis (Axelrod, 1984). Jadi, politisi tidak akan punya cukup waktu dan peluang untuk menelantarkan aspirasi konstituennya, karena dia memerlukan dukungan rakyat agar bisa terpilih lagi pada pemilu berikutnya. Perubahan electoral system atau siklus pemilu yang lebih rapat ini bisa : Membuat rakyat lebih rasional dalam memberi dukungan. Politisi/partai dan rakyat terpaksa mengadopsi strategi timbal-balik (tit-for-tat). Bila menggunakan pendekatan kultural : misalnya, dengan pengembangan social capital. Seperti ditunjukkan Putnam dalam studi klasiknya tentang demokratisasi, tingkat perkembangan social capitalmenentukan optimalnya output politik dan ekonomi dari sebuah demokrasi. Di sini berbagai organisasi misalnya, organisasi nonpemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan asosiasi profesi, berfungsi menjadi katalis penumbuhan social capital. Social capital ini meliputi kepercayaan, nilai timbal-balik (reciprocity), dan jaringan (Putnam, 1993). Pelibatan rakyat secara kolosal dalam organisasi-organisasi macam ini akan menyadarkan bahwa partisipasi politik mereka perlu dipenuhi dengan agenda dan bukan sekadar kerja bakti politik. Jadi, kembali pada pertanyaan di awal tulisan ini, who gets what, and why?. Minimnya faedah demokrasi untuk rakyat, bukan karena demokrasi yang, by design, merugikan rakyat tetapi, salah satunya, karena konstruk hubungan antara partai dan rakyat itu bukan konstruk yang transaksional dan kalkulatif. Karena itu konstruk hubungan dan interaksi ala dunia persepakbolaan ini harus diakhiri, agar transisi atau demokratisasi di Indonesia tidak cuma menghasilkan elite demokrasi, atau bahkan, pseudodemocracy tetapi merupakan konsolidasi demokrasi yang berpihak pada rakyat kebanyakan.